PENTINGNYA PERAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DAN KANTOR HUKUM ADVOKAT DALAM IMPLEMENTASI BANTUAN HUKUM
Hak atas Bantuan Hukum telah diterima secara universal yang dijamin dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Poltik International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Pasal 26 ICCPR menjamin semua orang berhak memperoleh perlindungan hukum serta harus dihindarkan dari segala bentuk diskriminasi Bantuan Hukum yaitu: 1) Kepentingan Keadilan, dan 2) Tidak mampu membayar Advokat.
Meskipun Bantuan Hukum tidak
secara tegas dinyatakan sebagai tanggung jawab negara namun ketentuan Pasal 1
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan
bahwa "Negara Indonesia adalah Negara Hukum". Dalam negara hukum,
negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia bagi setiap individu termasuk
hak atas Bantuan Hukum. Penyelenggaraan pemberian Bantuan Hukum kepada warga
negara merupakan upaya untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi negara
hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan
kebutuhan akses terhadap keadilan (access to justice) dan kesamaan di
hadapan hukum (equality before the law). Jaminan atas hak konstitusional
tersebut belum mendapatkan perhatian secara memadai, sehingga dibentuknya
Undang-Undang tentang Bantuan Hukum ini menjadi dasar bagi negara untuk
menjamin warga negara khususnya bagi orang atau kelompok orang miskin untuk
mendapatkan akses keadilan dan kesamaan di hadapan hukum. Oleh karena itu,
tanggung jawab negara harus diimplementasikan melalui pembentukan Undang-Undang
Bantuan Hukum ini.
Selama ini, pemberian
Bantuan Hukum yang dilakukan belum banyak menyentuh orang atau kelompok orang
miskin, sehingga mereka kesulitan untuk mengakses keadilan karena terhambat
oleh ketidakmampuan mereka untuk mewujudkan hak-hak konstitusional mereka.
Pengaturan mengenai pemberian Bantuan Hukum dalam Undang-Undang ini merupakan
jaminan terhadap hak-hak konstitusional orang atau kelompok orang miskin.
Beberapa pokok materi yang
diatur dalam Undang-Undang ini antara lain mengenai: pengertian Bantuan Hukum,
Penerima Bantuan Hukum, Pemberi Bantuan Hukum, hak dan kewajiban Penerima
Bantuan Hukum, syarat dan tata cara permohonan Bantuan Hukum, pendanaan,
larangan, dan ketentuan pidana.
Negara menjamin hak
konstitusional setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan,perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum
sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia, bahwa negara bertanggung jawab
terhadap pemberian bantuan hukum bagi orang miskin sebagai perwujudan akses
terhadap keadilan bahwa pengaturan mengenai bantuan hukum yang diselenggarakan
oleh negara harus berorientasi pada terwujudnya perubahan sosial yang
berkeadilan.
Dalam Prakteknya seperti di
Provinsi Kalimantan Selatan, tepatnya Banjarmasin memiliki sebuah Lembaga
Bantuan Hukum yang bernama Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum yang disingkat
LKBH, kalau di DPC PERADI BANJARMASIN ada Pusat Bantuan Hukum (PBH PERADI) yang
tujuannya adalah untuk Membantu
Masyarakat Miskin.
Bahwa setelah
disahkannya Undang-udang Nomor 16 tahun
2011 tentang Bantuan Hukum dimana Pasal
1 ayat (1) yang berbunyi “ Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh
Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum dan Pasal
1 Ayat (2) Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang miskin dan
pasal 1 Ayat (3) Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum atau
organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum berdasarkan
Undang-Undang ini”.
Di lahirkannya Undang-Undang
Bantuan Bantuan Hukum tersebut
Tujuannya adalah Untuk Menjamin dan
memenuhi hak bagi masyarakat penerima Bantuan hukum untuk mendapatkan akses
keadilan, mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan
prinsip persamaan kedudukan di adalam hukum. Penerima Bantuan Hukum berhak
mendapatkan Bantuan hingga masalah hukumnya selesai dan perkaranya telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, selama Penerima Bantuan Hukum yang bersangkutan
tidak mencabut kuasa. Selanjutnya penerima Bantuan Hukum juga berhak mendapatkan
sesuai dengan standar Bantuan Hukum dan Kode Etik Advokat dan mendapatkan
informasi serta dokumen yang berkaitan dengan pelaksanaan pemeberi Bantuan
Hukum sesuai dengan ketentuan Peratuan perundang undangan.
Berkaitan dengan bantuan hukum
cuma-cuma bagi masyarakat yang tidak mampu, untuk memperoleh Bantuan Hukum
berdasarkan UU tentang Bantuan Hukum, pemohon Bantuan Hukum harus memenuhi
syarat-syarat:
a.
Mengajukan permohonan secara
tertulis yang berisi sekurang-kurangnya identitas pemohon dan uraian singkat
mengenai pokok persoalan yang dimohonkan Bantuan Hukum;
b.
Menyerahkan dokumen yang
berkenaan dengan perkara; dan
c.
Melampirkan surat keterangan
miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat yang setingkat di tempat tinggal
pemohon Bantuan Hukum.
Serta dalam hal pemohon
Bantuan Hukum tidak mampu menyusun permohonan secara tertulis, permohonan dapat
diajukan secara lisan. Apabila
mengacu pada ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP yang berbunyi : “Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka
atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau
ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu
yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasehat
hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan pada
proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka,”.
Maka sebenarnya setiap
pejabat yang memeriksa tersangka atau terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan,
meliputi polisi pada tingkat penyidikan, jaksa pada tingkat penuntutan, dan
hakim pada tingkat pemeriksaan di pengadilan, mempunyai kewajiban untuk
menyediakan bantuan hukum, atau memastikan bahwa tersangka atau terdakwa yang
diperiksa didampingi oleh seorang penasehat hukum. Bahkan menurut ayat (2) dari
Pasal yang bersangkutan, yang menyatakan bahwa : “Setiap penasehat hukum yang
ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan
bantuannya dengan cuma-cuma”, para advokat juga tidak luput dari kewajiban
serupa, yaitu menyediakan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi tersangka atau
terdakwa berdasarkan permintaan yang diajukan oleh para pejabat di lingkungan
peradilan sebagaimana disebutkan di atas.
Agar bantuan hukum yang
diberikan bermanfaat bagi seluruh masyarakat, maka perlu dalam pelaksanaannya
dilakukan secara merata dengan penyaluran melalui berbagai institusi penegakan
hukum yang ada seperti pengadilan, kejaksaan, organisasi advokat, maupun
organisasi-organisasi masyarakat yang bergerak dibidang bantuan hukum.
Sebagaimana telah diketahui dan juga telah dijelaskan diawal tulisan ini,
pelaksanaan bantuan hukum kepada masyarakat tidak hanya sebatas untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat akan pendampingan advokat dalam setiap proses hukum
melainkan lebih dari hal tersebut adalah bagaimana menjadikan masyarakat untuk
mengerti hukum dan dapat mengkritisi produk hukum yang ada. Pengakuan Negara
harus diwujudkan bagi pertisipasi masyarakat dalam pembentukan hukum. Hal yang
terakhir ini dilaksanakan diantaranya dengan memberikan pendidikan hukum (Civics Education) kepada masyarakat.
Pada tataran normatif,
diperlukan adanya pengaturan khusus yang sifatnya memfasilitasi pelaksanaan
bantuan hukum. Melihat kebutuhan dan keberadaan Undang-Undang ini dalam rangka
menjamin hak masyarakat untuk mendapat keadilan maka dirasa perlu adanya
peraturan/undang-undang tentang bantuan hukum. Sebaiknya kalaupun ada
undang-undang tentang bantuan hukum hendaknya tidak dilihat dari perspektif
pelaksana pemberian bantuan hukum, melainkan dari kacamata masyarakat yang
membutuhkannya, sehingga diharapkan materi pengaturan yang tercakup di dalamnya
akan tepat pada sasaran yang dituju. Dengan kata lain, jaminan terhadap bantuan
hukum tidak berkaitan dengan adanya undang-undang bantuan hukum. Ketika yang
dibicarakan adalah bantuan hukum dalam konteks struktural, maka perlu juga
diperhatikan upaya pengembangan kapasitas masyarakat untuk mampu menyelesaikan
sendiri permasalahan hukum yang dihadapinya lewat ketentuan yang memungkinkan
diterapkannya Alternative Dispute Resolution
(ADR). Perlu juga diperhatikan jaminan terhadap hak masyarakat untuk
mengembangkan pengetahuannya dan sikap kritis terhadap setiap produk hukum
negara maupun yurisprudensi yang dihasilkan pengadilan, dengan adanya ketentuan
mengenai kebebasan mendapatkan informasi, serta berbagai ketentuan lain yang
akan memberi iklim kondusif bagi terselenggaranya bantuan hukum individual
maupun struktural.
Berdasarkan kebutuhan
masyarakat akan bantuan hukum tersebut maka pengaturan bantuan hukum sebaiknya
mencakup :
a.
Jaminan terhadap masyarakat
untuk mendapatkan akses ke peradilan formal dan untuk mendapatkan bantuan hukum
yang merupakan wujud dari pelaksanaan bantuan hukum individual yang sebaiknya
dilakukan oleh advokat dan dijamin oleh penegak hukum lainnya dalam setiap
proses peradilan;
b.
Jaminan terhadap masyarakat
untuk mendapatkan pendidikan hukum sebagai wujud dari pelaksanaan bantuan hukum
struktural;
c.
Pengaturan mengenai
koordinasi antar aparat penegak hukum dalam melaksanakan bantuan hukum;
d.
Transparansi terhadap
kebijakan hukum dan peradilan;
e.
Pengaturan mengenai
keterbukaan terhadap partisipasi masyarakat dalam mengkritisi produk hukum;
f.
Pengaturan terhadap
partisipasi masyarakat dalam mengkritisi prosedur dan pelaksanaan penegakan
hukum;
g.
Sanksi terhadap pelanggaran
yang dilakukan.
Pada tingkatan praktis, yang
perlu dipikirkan dalam pelaksanaannya adalah bagaimana sistem penyebaran
bantuan hukum ini dan bagaimana dengan pola pembiayaannya.
Namun sebelum berbicara
lebih jauh mengenai hal tersebut perlu dibedakan terlebih dulu pelaksanaan
bantuan hukum individual dengan bantuan hukum struktural. Hal ini disebabkan
adanya perbedaan karakteristik antara bantuan hukum individual dengan bantuan
hukum struktural. Bantuan hukum individual seperti yang dikatakan sebelumnya,
lebih tertuju pada kegiatan pendampingan terhadap masyarakat dalam
menyelesaikan masalahnya melalui proses hukum sehingga proses tersebut berjalan
sebagaimana mestinya tanpa ada diskriminasi hukum terhadap mereka. Hal ini
mengakibatkan perlunya kualifikasi tertentu, yaitu sarjana hukum yang menjadi
advokat, bagi pelaksana bantuan hukum individual. Sementara bantuan hukum
struktural kegiatannya lebih mengarah kepada proses pemberdayaan dan penyadaran
masyarakat hukum supaya mereka dapat memperjuangkan hak-haknya yang dilanggar
pada cara tertentu.
Bantuan hukum struktural
selama tidak bersentuhan langsung dengan proses peradilan dapat dilakukan oleh
siapa saja tanpa harus memenuhi kualifikasi sarjana hukum sebagai advokat.
Perbedaan lainnya terlihat pada target sasaran yang dituju, kalau pada bantuan
hukum individual targetnya yaitu masyarakat secara individu sedangkan dalam
bantuan hukum struktural targetnya adalah masyarakat dalam arti kolektif.
Pada bantuan hukum
individual, ada 2 (dua) cara yang dapat digunakan supaya pelaksanaan bantuan
hukum dapat berjalan dengan baik dan mencapai sasarannya yaitu:
a.
Memberdayakan organisasi -
organisasi masyarakat/swasta yang memberikan jasa bantuan hukum seperti Lembaga
Bantuan Hukum (LBH), Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) ataupun Biro
Bantuan Hukum (BBH) yang diadakan oleh universitas-universitas, dan serta
memberdayakan Kantor-kantor Hukum/Advokat atau Law Firm. Di sini masyarakat
dapat secara langsung atau melalui pengadilan meminta bantuan kepada organisasi
masyarakat/swasta tersebut.
b.
Memberdayakan organisasi
advokat. Pada model ini masyarakat dapat secara langsung atau melalui
pengadilan meminta bantuan kepada organisasi advokat dimana nantinya organisasi
advokat akan menunjuk anggotanya untuk membela anggota masyarakat yang tidak
mampu.
Baik dengan cara-cara
diatas, pada tingkatan proses perkara di Kepolisian maupun Kejaksaan, untuk
tersangka/terdakwa yang tidak memiliki penasehat hukum, aparat polisi maupun
jaksa yang menangani perkara tersebut wajib memintakan pendampingan penasehat
hukum untuk tersangka/terdakwa tersebut melalui pengadilan. Sementara pelaksanaan bantuan hukum
(Advokasi) struktural dapat dilakukan melaui 3 (tiga) cara, yaitu :
a.
Jalur non-litigasi, dimana lembaga-lembaga bantuan hukum yang ada dan setiap komponen
masyarakat yang berkepentingan membantu memberikan pendidikan hukum kepada
masyarakat guna menyadarkan mereka akan hak-haknya. Misalnya dengan menempelkan
poster-poster di tempat-tempat umum, di institusi-institusi penegakan hukum
yang berisi hak dan kewajiban mereka, membuat buklet-buklet yang berisikan
informasi mengenai hak masyarakat dan kemudian disebarkan secara umum kepada
masyarakat, atau dapat pula secara langsung mengadakan kontak dengan masyarakat
melalui diskusi-diskusi yang bertujuan memberikan penyuluhan hukum kepada
mereka. Yang intinya adalah meyadarkan masyarakat akan pentingnya hukum yang
selama ini masih menjadi milik pemilik modal dan penguasa.
b.
Jalur litigasi,
di sini para aktivis bantuan hukum yang secara formal menyandang hak berpraktek
sebagai advokat menggunakan jalur hukum untuk mengkritisi peraturan
perundang-undangan positif yang ada. Misalnya dalam penanganan kasus-kasus
politik, forum pengadilan dijadikan sebagai corong dengan persetujuan kliennya
untuk menyampaikan pesan ketidakadilan bahwa suatu produk hukum tertentu tidak
benar.
c.
Policy Reform, yaitu mengartikulasikan berbagai cacat yang terdapat dalam hukum
positif dan kebijakan yang ada, untuk dikritisi serta kemudian memberikan
alternatif-alternatif yang mungkin.
Peran LKBH dalam membatu
masyarakat miskin seperti setiap penanganan perkara, Penasihat hukum ditunjuk
oleh LKBH sendiri, karena mereka yang meminta bantuan kepada LKBH telah
mempercayakan semuanya kepada lembaga ini dan juga bisa memalui penetapan penujukan oleh Majelis Hakim kepada Penasihat Hukum LKBH
yang menempati Pos Bantuan Hukum di Pengadilan, jadi sudah menjadi wewenang
LKBH untuk memilih penasehat hukumnya dan mengabdi dalam hal tesebut. Selama
ini juga LKBH ini tetap konsisten untuk tidak memungut biaya bagi pembelaan
terhadap hak-hak rakyat miskin, terlebihnya setelah disahkannya Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2011 tentang bantuan hukum
Berkaitan dengan hal tersebut diatas pemberian bantuan hukum cuma-cuma
kepada masyarakat yang tidak mampu sebaiknya tidak hanya dilakukan oleh LKBH
saja yang memang sudah menjadi tugasnya, namun perlu juga dibudayakan
dikalangan advokat dan di perluas lagi kewilayah. Sebab apabila bantuan hukum
hanya dilakukan oleh LKBH hal ini tidak akan memungkinkan, karena jumlah LKBH
yang ada jauh lebih sedikit dari pada jumlah penduduk Indonesia atau Provinsi
Kalimantan Selatan pada khususnya. Namun perlu di garis bawahi bahwa LKBH tidak
mengatur tentang bayaran, karena lembaga ini merupakan lembaga yang memberikan
jasa hukum secara cuma-cuma.
Namun untuk membuat lebih sinergis lagi
dalam hal Bantuan Hukum Cuma-Cuma untuk masyarakat miskin serta tepat sasaran
kita juga perlu memberdayakan organisasi -
organisasi masyarakat/swasta yang memberikan jasa bantuan hukum seperti Lembaga
Bantuan Hukum (LBH), Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) ataupun Biro
Bantuan Hukum (BBH) yang diadakan oleh universitas-universitas, Pos Bantuan
Hukum Pengadilan dan serta memberdayakan Kantor-kantor Hukum/Advokat atau Law
Firm lainnya yang memiliki visi-misi dan tujuan tidak sekedar mencari materi
tetapi juga mengemban misi menangani perkara Pro Bono dan Pro Deo. Disini
masyarakat dapat secara langsung atau melalui pengadilan meminta bantuan kepada
organisasi masyarakat/swasta tersebut sesuai dengan semangat Undang-Undang 18
Tahun 2003 tentang Advokat. Yang khusus di Kalimantan Selatan dan 13 Kabupaten/Kota lainnya Kantor Hukum BORNEO LAW FIRM memberikan masukan kepada KEMENKUM HAM Wilayah Kalsel dan Pemerintah
Daerah serta DPRD juga harus mendorong secepatnya terbentuk Perda Bantuan
Hukum, hal tersebut akan meringankan beban anggaran/biaya dan menjalankan amanat Peraturan Pemerintah dan
UU Bantuan Hukum yang mana setiap daerah harus membuat Peraturan Daerah Tentang
Bantuan Hukum.
JADILAH INSPIRASI BANTUAN HUKUM DAN PELOPOR
BAGI YANG LAIN”